Diantara Raja Raja Eropa Musuh Salahuddin Adalah

Diantara Raja Raja Eropa Musuh Salahuddin Adalah

Terdapat 10 negara yang pernah menjadi kampiun sepak bola di benua Eropa. Jerman dan Spanyol adalah dua negara tersukses di Kejuaraan Piala Eropa, sama-sama mengumpulkan tiga gelar juara.

Jerman paling sering mencapai di final, yaitu sebanyak enam kali, dengan separuhnya sebagai tim Jerman Barat.

Selanjutnya Perancis dan Italia menyusul di belakang Tim Panser dan skuad Matador dengan torehan dua titel.

Sementara, ada enam negara yang masing-masing mengoleksi satu trofi, yakni Rusia/Uni Soviet, Ceko/Cekoslovakia, Denmark, Yunani, Belanda, serta Portugal.

Selain 10 negara yang menjadi juara, ada tiga negara yang menjejak hingga ke babak final. Mereka adalah Serbia (yang kala itu menjadi bagian Yugoslavia) dua kali mencapai babak final (1960, dan 1968), Belgia (1980,) dan Inggris (2020).

Italia merupakan negara terakhir yang menjadi kampiun Eropa. Gli Azzuri meraih trofi untuk kedua kalinya di EURO 2020 setelah mengalahkan Inggris di partai puncak lewat adu pinalti 3 – 2.

Sumber Data:Union of European Football Associations (UEFA)

Infografik:Albertus Erwin Susanto

Pengolah Data:Dwi Erianto

Editor:Topan Yuniarto

Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.

Wenn dies deiner Meinung nach nicht gegen unsere Gemeinschaftsstandards verstößt,

Let’s watch this show on the app!

Scan this QR to download the Vidio app.

© 2024 — Senayan Developer Community

Banyak yang meremehkan Los Blancos jelang final melawan Liverpool, namun pada akhirnya mereka tetap menegaskan status sebagai raja Eropa.

Di luar Stade de France, terjadi kekacauan, gas air mata, gerbang yang ditutup, dan antrean penonton yang mengular.

Tapi di dalam, ada ketertiban. Segala momen yang berjalan secara natural.

Real Madrid memang kalah dominan dari Liverpool di final Liga Champions, setidaknya secara statistik, namun mereka bisa mencetak gol dan pada akhirnya keluar sebagai pemenang.

Itulah yang mereka lakukan, terutama dalam kompetisi ini.

Seperti pada periode perpanjangan waktu melawan Chelsea dan Manchester City, begitu Madrid unggul, mereka sulit digoyahkan. Liverpool mengurung pertahanan mereka, tapi Thibaut Courtois tampil luar biasa hingga sulit ditembus.

Sang raja Eropa mengangkan rekor Piala Eropa ke-14 di Paris, meninggalkan pesaing terdekat mereka, AC Milan, yang punya tujuh trofi. Pelatih Carlo Ancelotti telah memenangkan kompetisi ini empat kali, lebih banyak dari manajer lainnya.

Real Madrid telah memenangkan lima trofi Liga Champions dalam sembilan musim, rekor yang tak tertandingi oleh tim mana pun - selain mereka sendiri, yang juga memenangkan lima edisi pertama turnamen tersebut, dari tahun 1956-1960.

Los Blancos mendominasi sepakbola Eropa sejak mereka pertama kali dibentuk dan bahkan sekarang, ketika mereka mengklaim bahwa ini adalah tahun mereka, tidak ada yang bisa menghentikan mereka.

Ada perjalanan ajaib untuk mencapai final, dimulai ketika penjaga gawang Paris Saint-Germain, Gianluigi Donnarumma blunder memberikan bola kepada Karim Benzema di kotak penaltinya sendiri pada awal Maret lalu.

Tim Prancis unggul 2-0 secara agregat dengan kurang dari setengah jam pertandingan tersisa, dengan Kylian Mbappe dan rekan-rekannya. setelah mendominasi 150 menit yang sudah mereka mainkan sejauh itu.

Tapi begitu Donnarumma memberikan ruang bagi Madrid untuk bangkit sekecil apa pun, mereka memanfaatkannya dengan optimal, dan kemudian bahkan berlanjut hingga ke London, Manchester dan kemudian Paris. Dan akhirnya, mereka kembali ke ibukota Spanyol dan Plaza de Cibeles, di mana mereka akan merayakan kemenangan mereka dengan puluhan ribu pendukung.

Mereka memiliki keajaiban melawan Chelsea, di mana saat tertinggal 3-0 di leg kedua, mereka membutuhkan assist yang luar biasa dari Luka Modric kepada Rodrygo untuk memaksakan perpanjangan waktu.

Lalu keajaiban lain datang saat jumpa Manchester City, dua gol hanya dalam waktu satu menit di menit akhir dari Rodrygo lagi-lagi membuat pertandingan harus berlanjut ke perpanjangan waktu.

Tapi di final, mereka tidak membutuhkan momen Rodrygo, atau keajaiban lainnya, kecuali jika Anda ingin menggambarkan performa Courtois seperti itu.

Courtois tampil luar biasa bagi Madrid setiap kali mereka membutuhkannya, seperti di Paris, terutama menghentikan aksi awal Mohamed Salah, serta menghasilkan penyelamatan magisterial untuk menangkal ancaman Sadio Mane.

Penyelamatannya terhadap aksi Mane, yang mengarahkan bola ke tiang tangan kanannya, adalah penyelamatan yang terbukti krusial dan menjadi titik paling penting dalam perjalanan Madrid ke tangga juara.

Madrid mengira mereka telah memimpin melalui Karim Benzema sebelum turun minum, tetapi gol itu dianulir karena off-side yang sangat bisa diperdebatkan karena bola sedikit mengenai Fabinho sebelum menuju padanya.

Namun, pada menit ke-59, mereka memimpin melalui aksi Vinicius Junior, yang mencetak gol setelah menerima umpan brilian dari Fede Valverde.

Setelah itu, Courtois dan Madrid mati-matian mempertahankan keunggulan. Peluang terbaik Liverpool jatuh ke tangan Salah, namun sang kiper menggunakan lengan bawahnya untuk memblok upaya pemain Mesir itu.

Tidak ada cerita balas dendam yang diwujudkan oleh Salah kali ini, Courtois-lah yang memastikan cerita itu tidak terjadi.

Sang kiper Belgia, yang telah menikmati musim yang luar biasa dan akhirnya melampaui level yang ia capai di Atletico Madrid dan tidak mampu menyamainya di Chelsea, adalah pilar kekuatan utama Madrid di bawah mistar.

Courtois membuat sembilan penyelamatan, sebuah rekor baru di final Liga Champions sejak Opta mulai mengumpulkan data, dan dengan 59 penyelamatan, ia juga mencatatkannya lebih banyak dalam satu kampanye daripada kiper lainnya.

"Kemarin dalam konferensi pers saya mengatakan bahwa ketika Madrid memainkan final, mereka menang. [Sekarang] saya berada di sisi sejarah yang baik," kata Courtois kepada BT Sport.

"Saya melihat banyak tweet datang kepada saya mengatakan bahwa saya akan jadi bulan-bulanan hari ini, tapi sebaliknya.

"Hari ini saya perlu memenangkan final untuk karier saya, untuk semua kerja keras, mendapatkan respek untuk nama saya karena saya merasa tidak terlalu dihargai, terutama di Inggris. Saya melihat banyak kritikan bahkan setelah menjalani musim yang hebat."

Jika Anda tidak bisa mengalahkan mereka, bergabunglah dengan mereka, pikir Courtois setelah kalah di final 2014 dengan Atletico melawan Real Madrid.

Saat itu, Los Blancos membutuhkan comeback menakjubkan lainnya; kali ini Courtois memastikan lawan tidak melakukannya.

Dortmund - Cristiano Ronaldo mencapai semua rekor di kompetisi Liga Champions dan terbaru di Euro. CR7 bak menjadi 'Raja' di Eropa!

tirto.id - Al-Malik al-Nasir Yusuf Ibn Najm al-Din Ayyub Ibn Shahdi Abu’l-Muzaffar Salah al-Din, atau oleh Pasukan Salib dikenal dengan nama Saladin adalah pahlawan terbesar Muslim dalam sejarah Perang Salib (1095-1291). Banyak kronik menyebutkan dirinya adalah sosok bijaksana yang memiliki keberanian luar biasa. Di samping itu, dia juga dikenal sebagai pemimpin politik dan militer yang mumpuni.

Untuk perkara yang disebutkan terakhir, terdapat testimoni yang ditulis oleh Ibn Syaddad—salah seorang hakim militer Saladin yang banyak menulis tentang cerita kegemilangannya dalam Perang Salib—sebagaimana dikutip ulang oleh Carole Hillenbrand dalam Perang Salib: Sudut Pandang Islam (2005), hlm. 219:

“Sebagai seorang panglima dan mujahid agung tentu saja mendapat tempat yang membanggakan. Ia begitu dikenal oleh para prajurit biasa di pasukannya, menciptakan ikatan-ikatan kesetiaan dan solidaritas, dan memperbaiki moral hukum. Dia berjalan melintas di antara seluruh pasukan dari sayap kanan hingga kiri, dengan menciptakan rasa persatuan dan mendorong mereka untuk maju dan berdiri kokoh pada saat yang tepat.”

Dalam pertempuran di lembah Hattin pada 3-4 Juli 1187, Saladin menang telak atas penguasa Yerusalem, Raja Guy de Lusignan. Beberapa bulan setelahnya, tepatnya pada 2 Oktober 1187, Saladin berhasil menaklukkan kota Yerusalem. Semenjak itu, namanya menjadi begitu terkenal sekaligus ditakuti oleh dunia Kristen Eropa.

Pada akhir Oktober 1187, ketika berita tentang kemenangan Saladin di Hattin dan jatuhnya kembali Yerusalem ke tangan tentara Muslim mulai terdengar di Eropa, orang-orang sangat terkejut.

Sebagaimana ditulis David Nicole dalam The Third Crussade 1191: Richard the Lionheart, Saladin and the struggle for Jerusalem (2006), Paus tua, Urban III terkejut dan lemah karena kabar jatuhnya Yerusalem ke tangan tentara Muslim. Ia meninggal karena kesedihan yang mendalam atas yang terjadi di Yerusalem.

Pada 29 Oktober 1187, penggantinya, Paus Gregorius VIII, mengeluarkan seruan terkenalnya yang disebut Bull Audita Tremendi sebagai tanggapan atas jatuhnya kembali Yerussalem di tangan tentara Muslim. Isi dari Bull Audita Tremendi adalah gambaran mengenai kengerian Pertempuran Hattin dan merinci kekejaman yang dilakukan tentara Muslim setelahnya.

Tak hanya itu, dalam seruannya tersebut Paus Gregorius VIII juga menyalahkan kaum Frank atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan di negara-negara tentara salib. Ia juga bersikeras bahwa orang Kristen yang tinggal di Eropa juga turut bertanggung jawab atas yang telah terjadi di Yerusalem.

Di seluruh Eropa, orang-orang sangat tersentuh akan maklumat Paus tersebut. Banyak yang tertarik untuk bergabung mengabdikan diri sebagai bagian dari Tentara Salib karena jaminan penebusan dosa yang ada dalam Bull Audita Tremendi.Dari situlah titik balik Perang Salib III atau yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Salib Para Raja.

Merencanakan Serangan Balasan

Perang Salib tak lepas dari kisah tentang dua tokoh sejarah besar yang telah mendominasi jalannya Perang Salib III, yakni Saladin dan Richard I The Lionheart. Sejak akhir abad ke-12, Perang Salib lebih sering digambarkan sebagai duel pribadi antara dua sosok pemimpin militer beda kubu tersebut.

Bahkan, banyak sekali karya-karya lukisan pada abad pertengahan yang menunjukkan Richard I The Lionheart dan Saladin terkunci dalam pertempuran tunggal satu lawan satu. Adegan ini sebenarnya adalah fiksi. Richard dan Saladin tidak pernah benar-benar bertemu secara langsung satu sama lain. Meski demikian, pasukan mereka terlibat dalam beberapa pertempuran selama Perang Salib III berlangsung, tulis Nicholson Helen dan David Nicole dalam God’s Warriors: Crusaders, Saracens and The Battle For Jerusalem (2005).

Perang Salib III mulanya akan dipimpin oleh Frederick I Barbarossa dari Jerman, Philip II Augustus dari Prancis, dan Richard I The Lionheart dari Inggris yang akan melawan Salahhudin Al-ayubi di pihak lawan. Akan tetapi, hanya Raja Philip II Augustus dan Richard I The Lionheart yang benar-benar sampai ke Yerusalem karena nasib nahas menimpa Raja Frederick I. Dia tewas tenggelam dalam balutan baju zirahnya di sungai Goksu dekat Kastil Silifke di wilayah Selatan Turki.

Selain motif agama, Paus Gregorios VIII juga memiliki motif politik yang kuat di balik seruan Bull Audita Tremendi yang melatarbelakangi ekspedisi Perang Salib III. Motif tersebut menurut Carole Hillenbrand dalam Perang Salib Sudut Pandang Islam, hlm. 32-34 (2005) adalah agar pertengkaran menahun antara Kerajaan Prancis dan Inggris yang melemahkan kekuatan kerajaan Kristen Eropa, bisa segera mereda jika mereka bersatu dalam satu tujuan bersama.

Hal tersebut dalam pandangan Paus Gregorius VIII akan mengalihkan energi perangdua kerajaan yang berselisih itu, sekaligus dapat mengurangi ancaman langsung bagi masyarakat Eropa akibat perang berkepanjangan yang mereka lakukan. Ide Paus ini hanya berhasil dalam waktu singkat. Kedua raja, yakni Raja Philip II Augustus dan Richard I The Lionheart pada kenyataannya hanya mampu menyisihkan perbedaan pendapat dalam rentang waktu beberapa bulan selama berlangsungnya ekspedisi tersebut.

Pada tahun-tahun setelah kemenangan besarnya di Hattin dan Yerusalem pada 1187, kekuatan politik dan militer Saladin mulai menurun. Perpecahan dalam dunia Islam mulai muncul kembali, dan upaya Saladin menaklukkan benteng tentara salib yang tersisa masih menuai kegagalan.

Pada musim dingin 1187–1188, Saladin menyerang pelabuhan tentara salib terakhir di Titus, tetapi kota itu berhasil dipertahankan oleh Conrad dari Montferrat, bangsawan Italia yang baru tiba di Yerusalem.

Tak lama kemudian, Saladin membebaskan Raja Guy de Lusignan yang sebelumnya telah mengambil sumpah darinya untuk tidak kembali memeranginya. Hal ini kelak akan menjadi salah satu keputusan paling mahal yang pernah diambil Saladin. Tak lama setelah dibebaskan, Raja Guy de Lusignan bertemu uskup yang mengataan padanya bahwa sumpah yang diambil kepada orang kafir (baca: Muslim) tidak mengikat bagi orang Kristen.

Pada Agustus 1189 Raja Guy berhasil mengumpulkan beberapa ribu pengikutnya yang masih setia untuk melakukan pengepungan terhadap Kota Acre--salah satu pelabuhan terpenting di pantai Mediterania. Raja Guy menempatkan pasukannya di sebuah bukit rendah yang disebut Gunung Toron, hampir satu mil di sebelah timur Acre (The Third Crusade, hlm. 110).

Infografik Mozaik Kekalahan Saladin di Perang Salib III. tirto.id/Lugas

Serangan cepat dari pasukan Saladin yang jumlahnya lebih banyak bisa saja menghabisi kaum Frank, tapi dia terlalu hati-hati dan mengatur posisi bertahan sekitar enam mil jauhnya ke tenggara Acre. Selama satu setengah tahun berikutnya, pengepungan Acre masih menemui jalan buntu. Kaum Frank berkemah di parit antara tentara Saladin dan garnisun Muslimnya di dalam kota.

Pasukan Salib kemudian terus membanjiri Acre, salah satunya pasukan Conrad de Montferrat yang sering disebut sebagai gelombang pertama kedatangan tentara salib dari Eropa pada Perang Salib III. Meski demikian, kaum Frank tidak dapat menghancurkan tembok kuat yang mengelilingi kota tersebut.

Musim dingin tahun 1189 dan 1190 sangat keras, kekuatan kedua belah pihak--Tentara Salib dan pasukan Muslim—dilemahkan oleh penyakit menular dan kekurangan bahan makanan yang semakin terasa. Meski demikian, kota Acre masih berhasil menahan serangan gencar yang dilakukan oleh gabungan tentara Frank milik Guy dan Conrad de Montferrat.

Pada permulaan tahun 1191, Saladin menerima kabar bahwa Raja Inggris dan Prancis beserta pasukannya tengah dalam perjalanan menuju Acre untuk membantu pengepungan. Pasukan Raja Prancis tiba pada 20 April 1191. Raja Philip II Augustus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membangun strategi pengepungan dan melecehkan para prajurit Muslim yang berada di dalam benteng kota.

Dua bulan kemudian, tepatnya pada 8 Juni 1191, Raja Richard The Lionheart dari Inggris juga tiba dengan 25 kapal untuk membantu Tentara Salib dengan melakukan blokade laut.

Keterampilan taktis dan kemampuan militer Richard The Lionheart membuat perbedaan besar bagi jalannya pengepungan. Hal ini memungkinkannya mengambil alih komando Pasukan Salib. Pada 2 Juli 1191, 200 armada besar kapalnya tiba.

Karena kian terdesak dari darat dan laut, pada 11 Juli 1191 Saladin memutuskan untuk melancarkan serangan penghabisan terhadap lebih dari 50.000 Tentara Salib yang mengepung di luar benteng, namun kegagalan. Akhirnya pada 12 Juli 1191, tepat hari ini 830 tahun silam, Acre jatuh ke tangan Raja Richard I The Lionheart dan Philip II Augustus. Ini adalah kekalahan pertama Saladin dalam pertempuran di Yerusalem sejak dia berkuasa pada Oktober 1187.